Nama-nama lain :
  
  
    
  
  
  
  
 
  
 
Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.
  
 
  
  
 
- Bratasena
 - Balawa
 - Birawa
 - Dandungwacana
 - Nagata
 - Kusumayuda
 - Kowara
 - Bima
 - Pandusiwi
 - Bayusuta
 - Sena
 - Wijasena
 - Jagal Abilawa
 
 Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan  Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini  merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya  yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki  keturunan.
 
 
 
Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud [baca juga ; Bima bungkus ]. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.
 Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud [baca juga ; Bima bungkus ]. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut.
 Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi  sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan  nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang  danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih),  Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping  (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari  Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena  memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi  tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak.,  anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan,  setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati  dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara  tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan  Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah  perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata  atau Tirtanata. Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan  sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima,  Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya  menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya  menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga,  Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam  pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu  Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra  batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan  Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang  merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.
  Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian  untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu,  Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah  Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal  dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman  Ramayana). 
  Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas,  berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah  berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan  gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara  halus dan mau menyembah.
  Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin  dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan  menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama  bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
  Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka  Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai  kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada  Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa,  sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para  Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang  bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk  dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan  diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur  Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu,  datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu  Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa  apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan  Peksajandu.
  Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu  menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan  Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu  orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya  menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa  langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya,  sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi  terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke negri-negri sebrang  itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.”  Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu  Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi  pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari  kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita  ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.
  Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan  Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang  untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu  pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara  penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa  kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang  masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras.  Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira Pandawa telah tidur mulai  membakar pesanggrahan. Sebelumnya Arjuna memperbolehkan enam orang  pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa  kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak,  dan adik-adiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura,  yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan  putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di  kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan  menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini.  Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi  sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah  para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan.  Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan  putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan  Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin  membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan  Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah  menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan  adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang  rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat  ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki…” (Duh  cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu  menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya  memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai  Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani  sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.
  Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya  meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula  dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama  Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya  yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra  mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri  tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu  Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara  langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat  dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi  gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu  Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan  seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa  manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan  dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang  ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi.  Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak  keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di  Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua  bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna,  makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa  dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba  seseorang.
  Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang  ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu,  putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar. Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah  meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis  terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa  masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi.  Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara  denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan  Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari  Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji  Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara  mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.
  Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti  Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk  memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan  Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya  Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta  yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat  mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil  mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di  Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam  tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari  selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di  Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol  sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi  dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.
   Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa  harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun  menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal  atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di  sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang  bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan  Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak  lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang  menyamar.
  Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta  Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta  Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap  manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan  oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya  dengan sungguh-sungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar  samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua  raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan  Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang  di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh  kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke  ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan  peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh  seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya,  disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam  di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati,  Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam  lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat  wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang  damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta  bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh  dari Dewa Ruci.
 Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat.
 Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk  mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa  datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka  lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma,  memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong  dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir  Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima  memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang  dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.
  Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki  Aji Blabak pangantol-antol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata,  Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu  Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta  Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat  habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke  pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal  Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu  Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra  Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin  mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam  cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut  bertambah kuat. Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil  membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua  kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk  melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas  rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala  tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh  adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga  Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara  pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya  dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan  berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut  dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai  dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut  posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang  dikuliti.
  Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal  saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri,  Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri  yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh memukul  bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya  telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala,  karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi  paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh  Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan  betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa  wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri  Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah  Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat,  ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan  segala pukulan Gada Rujak Polonya. 
  Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri  nya. Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung  menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul  Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan  menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal  itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun  atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan  terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya  Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap  Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada  Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya  hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha  kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia  lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang  hancur.
  Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra  dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan  dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di  tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat  para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra,  diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan  Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong  Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca  batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra  kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan  masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi  Kunti. Beberapa pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah  tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa  ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putra-putranya yang  berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi  Brahala.
 


